17°
22 /12 يوم الاثنين - 2 رجب -2025
line

جديد الموقع

singlePageBG
Refleksi Idul Fitri Bagi Umat Islam
21/9/2010

|

indo.hadhramaut.info

حجم الخط


Secara ‎ terminologi Idul Fitri mengandung dua arti. Ada yang mengartikan Idul Fitri, ‎kembali kepada keadaan di mana umat Islam diperbolehkan lagi makan dan minum ‎siang hari seperti biasa. Ada pula yang mengartikan Idul Fitri, kembali kepada ‎kesucian atau kembali ke asal kejadian, yaitu fithrah, berarti suci. Kelahiran seorang ‎manusia dalam kaca Islam, tidak dibebani dosa apapun.‎

Dari dua arti di atas penulis lebih condong kepada makna yang ke dua yaitu "kembali ‎kepada kesucian". Pegangan ini bukan tanpa alasan. Mengingat, pada setiap hari raya ‎Idul Fitri selalu terdengar dan terucap "min al-a'idiin wa al-fa'izin". Sebenarnya, apa ‎maksud dari ucapan tersebut?‎

Survei membuktikan, dalam ucapan min al-a'idin wa al-fa'izin terdapat beberapa ‎kalimat yang dibuang. Secara lughah kita tidak dapat mengerti tanpa ada tafsir ‎sebelumnya. Tafsir tersebut adalah "Ila al-fitroti min al-a'idin wa anil hawa wa as-‎syayatin min al-fa'izin," artinya : kita kembali kepada fitroh (suci) dan kita telah ‎menang dari hawa nafsu dan setan. Dalam artian, setelah satu bulan umat islam ‎menyucikan diri jasmani-rohani (mengekang hawa nafsu) dengan harapan agar dosa-‎dosanya diampuni oleh Allah SWT, maka pada hari Idul Fitri mereka telah suci lahir ‎dan batin. Inilah maksud dari ucapan min al-a'idin wa al-fa'izin.‎

Tiga Sikap

Idul Fitri merupakan simbol kemenangan lahir dan batin umat muslim. Setelah satu ‎bulan lamanya berpuasa, menahan lapar, dahaga dan mengekang hawa nafsu. ‎Setidaknya ada tiga sikap ketika merayakan Idul Fitri. ‎

Tiga sikap yang harus kita punyai, yaitu: petama, Rasa penuh harap kepada Allah ‎SWT (Raja’). Berharap agar diampuni dosa-dosa yang telah lalu. Janji Allah SWT ‎akan ampunan itu sebagai buah dari "kerja keras" sebulan lamanya menahan hawa ‎nafsu dengan berpuasa. ‎

Kedua, Melakukan evaluasi diri terhadap puasa yang telah dilaksanakan. Apakah ‎puasa yang telah kita kerjakan sarat dengan makna, atau hanya sebatas puasa ‎menahan lapar dan dahaga saja, sedangkan lidah, hati, dan mata tidak bisa ditahan ‎dari perbuatan ma'siat. Kita harus terhindar dari sabda Nabi SAW yang artinya: ‎‎"Banyak sekali orang yang berpuasa, yang hanya puasanya sekedar menahan lapar ‎dan dahaga". ‎

Ketiga, Mempertahankan nilai kesucian yang baru saja diraih. Tidak kehilangan ‎semangat dalam ibadah karena lewatnya bulan Ramadhan, sebab predikat taqwa ‎sepantasnya berkelanjutan hingga akhir hayat. Firman Allah SWT: "Hai orang yang ‎beriman, bertagwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa kepada-Nya dan janganlah ‎sekali-kati kamu mati melainkan dalam keadaan ber-agama Islam" (QS. Ali Imran: ‎‎102).‎ Ketiga sikap inilah yang harus tampak sebagai bentuk hasil dari penggenblengan ‎bulan suci Ramadhan.‎

Momentum Silaturrahim

Menjelang Idul Fitri tiba, arus mudik demikian deras. Banyak penduduk kota yang ‎kembali ke kampung halaman, demikian juga para pekerja pulang kampung hanya ‎untuk bersilaturrahim dan berkumpul dengan keluarga.‎

Silaturahim (menyambung kasih sayang) dengan meminta maaf/melebur dosa ‎merupakan tindakan yang mulia dan dianjurkan oleh agama. Hikmah dari silaturrahim ‎sendiri mempererat kembali tali persaudaraan sesama muslim dan memperkokoh ‎semangat kekeluargaan.‎

Dengan motif silaturrahim akan tersambung kembali yang selama ini putus demi ‎terjalinnya keharmonisan. Yang demikian inilah yang dinamakan hakikat ‎silaturrahim. Nabi saw. Bersabda: "Tidak bersilaturrahim (namanya) orang yang ‎membalas kunjungan atau pemberian, tetapi (yang dinamakan bersilaturrahim ‎adalah) yang menyambung apa yang putus" (Hadis Riwayat Bukhari).‎

Idul Fitri atau kembali ke fitrah akan sempurna tatkala terhapusnya dosa kita kepada ‎Allah diikuti dengan terhapusnya dosa kita kepada sesama manusia. Terhapusnya ‎dosa kepada sesama manusia dengan jalan kita memohon maaf dan memaafkan orang ‎lain. ‎

Dengan demikian Idul Fitri, sesungguhnya menawarkan apa yang disebut Emha extra ‎cultural and spiritual strategi untuk menerobos kemungkinan dialektika permaafan ‎dalam peta perhubungan sistemik dan struktural yang ruwet dan tak terjangkau.‎

Oleh: Amir Faqih al Qadafi, Mahasiswa Fakultas Syari'ah Universitas al-Ahgaff ‎Yaman.‎